Minggu, 17 April 2011

Khutbah Jumat

Senin, 18 April 2011

Posting Pertama
Ini merupakan postingan pertama saya, saya ingin menulis beberapa aritikel, mudah-mudahan bermanfaat untuk banyak umat, amin


EFEK NEGATIF PENGARUH ICT TERHADAP GENERASI SEKARANG

Pengaruh ICT (Information and Comunication Technology) atau teknologi informasi dan komunkasi, menempati posisi yang sangat signifikan dan krusial di dalam mereduksi moral dan kepribadian generasi muda kita akhir-akhir ini. Dalam konteks ini, yang saya maksudkan adalah, gabungan antara media klasik seperti media cetak maupun elektronik, dan media baru seperti telepon seluler dan internet, karena kita dan anak-anak kita saat ini hidup di era ICT.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu pesat, memaksa kita, para orangtua untuk kembali melihat, cara (kaifiyyat) atau methode yang harus diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Jika sedikit saja kita salah dalam menyampaikan informasi kepada anak-anak kita, walaupun menurut kita, bahwa cara yang kita tempuh sudah benar, tetapi dikarenakan kita tidak mengerti kondisi dan perkembangan tekhnologi saat ini, maka sangat mungkin, apa yang kita sampaikan menjadi tidak efektif, bahkan disalahgunakan oleh anak-anak kita.

Kalau dahulu, tiga puluh tahun yang lalu, termasuk di kota-kota besar seperti Jakarta sekalipun, setelah Maghrib kita sering mendengar anak-anak tadarus Al-Qur'an. Kita pun akrab dengan mereka, mengaji bersama. Bahkan di setiap rumah pasti terdengar, sayup-sayup sampai, suara orang-orang sedang mengaji Al-Qur'an. Tradisi semacam ini bukan hanya di malam Jumat, tetapi hampir di setiap malam. Baik itu di rumah-rumah, di surau-surau, maupun di masjid-masjid yang ada di tengah masyarakat kita. Bukan hanya itu, anak-anak kita pun diajarkan langsung oleh orangtua-orangtua mereka tentang bagaimana cara mereka shalat, cara bersuci, dan tata-krama bersopan-santun. Bagi anak-anak puterinya, diajarkan bagaimana cara mereka menghadapi masa-masa tertentu, cara menghadapi masa menstruasi, cara menyikapi perkembangan alat-alat reproduksi, dan lain sebagainya. Itu semua diajarkan dan dibimbing satu-persatu oleh orangtua-orangtua kita dahulu, yaitu tiga puluh tahun yang lalu.

Produk tiga puluh tahun lalu itu adalah diri kita sekarang ini. Saya, Bapak-bapak, Ibu-ibu, dan Saudara-saudara sekalian yang ada di sini, bahkan masyarakat Indonesia secara umum sekarang ini adalah hasil produk sekitar tiga puluh tahun yang lalu. Produk yang masih menerima terpaan dan gemblengan agama yang masih cukup lumayan dari para orangtua kita. Kita adalah produk yang di zaman itu masih tidak mengenal apa yang namanya telepon seluler, apa yang namanya CD atau VCD, apa yang namanya internet, apa yang namanya tabloid, dan lain sebagainya.

Kalau dahulu para orangtua kita dengan begitu teilitinya, dengan begitu sabarnya, dengan begitu perhatiannya, menggembleng dan mendidik diri kita, sehingga menjadilah kita sekarang ini. Diri kita atau masyarakat Indonesia yang ada sekarang ini adalah hasil produk sekitar tiga puluh atau empat puluh tahun yang lalu. Jika kita lihat, diri kita saja yang dahulunya mendapat gemblengan dan terpaan agama yang cukup kuat, hasilnya masih seperti ini, lalu bagaimana dengan anak-anak kita di zaman sekarang ini?

Untuk lebih meyakinkan saudara, coba saudara cek sekali saja, saudara jalan-jalan sehabis Maghrib di tengah masyarakat yang saudara tinggal di dalamnya? Apa yang saudara dengar dari rumah-rumah penduduk? Dari rumah-rumah tetangga? Bahkan saudara cek di kampung halaman saudara, yang barangkali tidak sebesar kota Jakarta ini? Adakah terdengar suara anak-anak beserta orangtuanya sedang tadarus Al-Qur'an? Jangankan anak-anak kita rajin untuk membacar Al-Qur'an, jangankan putera-puteri kita faham tentang agama, tentang bagaimana menghadapi masa pubertas secara islami, terkadang anak-anak kita mengenal huruf arab saja tidak tahu! Coba kita perhatikan, apa yang kita saksikan setelah Maghrib pada keluarga-keluarga muslim saat ini? Kita lihat, bapaknya nonton berita atau sepakbola, ibunya nonton sinetron, anaknya yang paling tua main SMSan, adiknya, main internet, adiknya lagi main HP?

Coba kita bandingkan, kita saja yang dahulunya dapat gemblengan dan arahan yang lebih baik dari orangtua-orangtua kita, masih seperti ini? Kita masih lalai dalam mendidik anak-anak kita? Lalu bagaimana dengan generasi anak-anak kita selanjutnya? 20, 30, 40 tahun lagi? Yang mana mereka tidak mendapatkan arahan langsung dari kita? Kita biarkan begitu saja. Kita hanya mempercayakan mereka pada guru agama, pada ustadzah yang membimbingnya, tanpa kita turun tangan? Kita biarkan mereka membuka ingternet dengan bebasnya, padahal di internet sangat penuh dengan hal-hal negatif seperti pornografi, cerita esek-esek, kekerasan dan lain sebagainya, tanpa kita awasi? Kita biarkan mereka berinteraksi dengan HP mereka dengan lawan jenis dan pelayanan-pelayanan negatif lainnya yang tidak mendidik dan malah menjerumuskan! Bagaimana jadinya generasi kita mendatang kalau sudah seperti ini? Apa yang akan terjadi 20, 30, 40 tahun yang akan datang? Inilah yang harus kita perhatikan, dan kita renungkan bersama untuk mencari jalan keluarnya.

Belum lagi kita dapat membendung efek negatif ICT terhadap anak-anak dan keluarga kita yang mulai marak saat ini, pemerintah malah sengaja mengkampanyekan budaya internetisasi dengan slogan “mari kita galakan internet di masyarakat kita”. iklannya sudah ada di televisi “ayo kita sambut kehadiran internet”, “mari kita sambut internet di kampung kita”, “mari kita sambut internet di kelurahan kita” dan slogan-slogan lainnya. Nanti anak-anak kecil yang masih lugu-lugu dan polos itu disuruh melihat-lihat internet. Internet bakal ada di rumah-rumah, di sekolah-sekolah, bahkan di mushola-mushola sekalipun. Fenomena itu bakal terjadi bukan hanya di kota-kota besar, tetapi di kampung-kampung dan di desa-desa, mereka bakal akrab dengan dunia internet. Internet bagus, tekhnologi baik, tetapi kita jangan hanya memikirkan efek positifnya saja tanpa melihat dan mempertimbangkan efek negatifnya. Kita harus pandai-pandai memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Semestinya pemerintah sudah mulai memikirkan dan mencari solusi terbaik tentang bagaimana cara untuk mengantisipasi efek-efek negatif ITC terhadap anak-anak dan keluarga. Tapi yang ada kan tidak?! Pemerintah membiarkan begitu saja tanpa adanya filterisasi dan counter atas efek negatif ITC ini?! Inilah yang kita khawatirkan.


Saudara-saudara kaum muslimin rahimakumullah…

Ada tiga poin pokok yang ingin saya sampaikan, berkaitan dengan efek negatif ICT ini terhadap keluaga kita.

Pertama, ideologi kebebasan. Orang-orang barat itu menginginkan masyarakat dunia mengikuti mereka. Kebebasan merupakan hak asasi manusia yang paling tinggi, kata mereka. Jadi, tidak ada orang yang berhak memaksa orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak orang itu sendiri. Saat ini saja, jika kita perhatikan undang-undang yang ada di Indonesia tentang Komnas HAM atau Komnas Anak dan lain sebagainya, sudah sangat mengkhawatirkan. Sebagai contoh, jika ada orangtua yang ternyata dalam mendidik anaknya ada tindakan yang tidak disetujui oleh anaknya, lalu anaknya itu mengadu ke Komnas HAM anak, maka orangtuanya bisa diperkarakan. Begitu juga, jika ada seorang isteri yang tidak suka dengan nasehat suaminya, karena merasa hak individunya diintervensi, lalu dia mengadukan masalahnya pengadilan agama, maka isterinya itu berhak meminta cerai dari suaminya. Berkaitan dengan kasus perceraian semacam ini, di Indonesia sudah lebih dari lima puluh persen perceraian ditentukan oleh isterinya, bukan oleh suaminya. Semua ini adalah implikasi dari proses kebebasan yang kebablasan.



Di bidang politik, negara barat menggulirkan kebebasan dengan apa yang namanya demokrasi. Di mana-mana demokrasi dikampanyekan, yang penting suara rakyat. Apakah itu halal atau haram, tidak penting yang penting rakyat setuju, beres. Di bidang ekonomi, ada yang namanya liberalisasi ekonomi. Ada pasar bebas. Siap atau tidak siap, yang penting kalau sudah digulirkan harus siap, itulah hukum pasar yang harus diikuti. Masabodoh dengan si miskin atau si kaya. Tidak pandang punya modal yang cukup atau cekak. Kebebasan di bidang budaya. Bebas orang mengekspresikan pikiran dan gagasan. Maka munculah aliran-aliran dan agama-agama baru di Indonesia. Pada saatnya nanti, karena alasan HAM, mereka tidak bisa ditolak.

Padahal dalam Islam juga ada kebebasan, tetapi kebebasan yang terbatas. Kebebasan Islam punya aturan, punya akhlak dan tatakrama, bukan liberal yang tanpa batas. Bukan kebebasan yang kebablasan. Melainkan pada hakikatnya, kebebasan yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Kebebasan yang dipandu oleh wahyu Tuhan Yang Maha Bijaksana, yang memahami manusia sebagai hasil produk-Nya. Berkaitan dengan ini, ada satu hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud:

إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَي: إِذَا لَمْ تَسْتَحِيْ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ. (رواه الترمذي).

“Sesungguhnya di antara hal yang ditemukan umat manusia dari para nabi-nabi terdahulu adalah ungkapan, “Jika kamu tidak malu, maka lakukanlah apa yang kamu suka.”